Picek identik dengan sebuah
perkataan kotor (perkataan misuh berbahasa jawa). Apabila ditransmisikan dalam
bahasa Indonesia, kata tersebut memiliki padanan kata buta. Akan tetapi, dalam pemakainnya justru lebih sering digunakan sebagai umpatan atau perkataan misuh yang bernilai
negatif di kalayak jawa, sehingga membuat kata picek
tadi bernilai sangat negatif dan
bernada miring jika diucapkan. Saking negatifnya nilai rasa dari kata tersebut,
masyarakat jawa tidak ragu untuk mendiskreditkan orang yang mengucapkannya. Walaupun
berpadanan kata buta, picek memiliki kedudukan yang jauh lebih
rendah dalam nilai kata dan dapat
disimpulkan sebagai kata yang bernilai negatif yang akan menegatifkan apapun
yang disifatainya (dalam masyarakat jawa).
Egois diterjamahkan oleh sebuah kamus sebagai orang yang selalu
mementingkan diri sendiri. Menurut kami, egois berdiri dari kata dasar ego yang
berakhiran is. Ego adalah sebuah fitrah manusia sebagai seorang individu. Akan
tetapi, akhiran –is dapat menyebabkan kata yang ditumpanginya tersebut menjadi
bernilai berlebihan. Jadi, ego yang sejatinya merupakan sifat lumrah yang ada
dalam setiap individu setelah mendapat akhiran –is menjadikannya sikap yang
berlebihan dalam mementingkan individunya tersebut.
Cukup jelas dalam pemaparan di atas tentang definisi maupun nilai kata
dari kedua kata tersebut, lantas mengapa egois dianalogikan sebagai wong picek.? Egois dapat diibaratkan
sebagai seseorang yang sebenarnya bias melihat orang lain maupun kepentingan
sekitar, tetapi dengan kesengajaanya merem atau menutup mata.
Sedangkan kita bisa melihatnya bersama bahwa misuh ( perkataan picek ) ditujukan pada orang yang
memiliki penglihatan sehat (tidak buta). Oleh karena itu, dalam sebuah sudut pandang yang
mungkin akan berbeda, rasanya akan wajar dan pantas apabila orang egois mendapatkan
kedudukan yang sejajar dengan wong picek.
Terkisah
sebuah cerita dari seorang wali Allah, Syeikh Sariy as-Saqathy (wafat th 253
H/967 M) pernah berkata,” Tiga puluh tahun aku beristighfar, memohon ampunan
Allah atas ucapanku sekali 'Alhamdulillah' !". "Lho, bagaimana
itu?" tanya seseorang yang mendengarnya. "Terjadi kebakaran di
Baghdad," kata Syeikh menjelaskan," lalu, ada orang yang datang
menemuiku dan mengabarkan bahwa tokoku selamat tidak ikut terbakar. Aku waktu
itu spontan mengucap, "Alhamdulillah!" Maka, ucapan itulah yang
kusesali selama tiga tahun ini. Aku menyesali sikapku yang hanya mementingkan
diri sendiri dan melupakan orang lain."
Tiga
puluh tahun Syeikh Sariy menyesali ucapan alhamdulillahnya. Beliau menyesal
karena sadar--sekejap setelah melafalkan ucapan syukurnya itu--bahwa dengan
ungkapan syukurnya itu berarti beliau masih sangat tebal perhatiannya kepada
diri sendiri. Begitu tebal hingga menindih kepekaan perhatiannya kepada sesama.
Sekejap beliau tersadar; alangkah degilnya orang yang mensyukuri keselamatan
sebuah toko pada saat keselamatan sesama dan harta benda mereka terbakar habis.
Alangkah musykil-nya orang yang sanggup menyatakan kegembiraan disaat musibah
menimpa sabagian besar saudara-saudaranya. (Membuka Pintu Langit, 2011:175)
Refleksi
dan instrospeksi patut menjadi sikap atas cerita hikmah tersebut. Begitu mudah untuk
kita pahami penyesalan seorang sufi tersebut. Terkecuali apabila memang begitu
kerasnya hati kita yang tak mampu lagi menerima bisikan-bisikan kebaikan. Tidak
ada ajaran agama manapun yang mengajarkan kita untuk bersifat egois.
Apakah
matamu memang kau pergunakan untuk melihat…!
Hatimu masih lembut dan belum sekeras batu kan...!
Apa telingamu sudah biasa berpura-pura tuli..
dan tanganmu malas untuk terulur...!
Apa
memang kau terlalu hebat untuk meremehkan orang lain…
Apa
kaupun meyakini tindakanmu paling benar…
Atau
memang hanya engkau yang hidup di dunia ini..
Apakah kau yakin Tuhan selalu membenarkanmu…
Entah
mungkin kau lah manusia terbaik yang ada..
dan yakin tak butuh orang lain..
mungkin
justru aku yang tidak tahu kalo bahagia sendiri itu enak..
ooh..
bisa juga Aku dan temanku ini yang terlalu hina untuk kau lihat
Mungkin
aku juga yang terlalu bodoh sehingga tak kau anggap..
Suaraku
juga mungkin terlalu sumbang, sehingga kau enggan mendengarnya..
Tapi,
aku yakin suatu saat kau pasti ingat…
Tuhan
itu memuliakan manusia diantara makhluk yang lainnya..
Nabi
Muhammad adalah manusia yang paling manusia..
Dan
Manusia yang paling memanusiakan manusia..
Setelah
sadar akan keburukan sifat egois, maka marilah kita segera berbenah dan
memperbaiki diri. Mohon maaf apabila terlalu berlebihan dan terlalu kasar dalam
berbahasa. Akan tetapi, tidak perlu khawatir dianggap Wong Picek kalo memang anda
tidak merasa egois…heee..