Kamis, 11 Juli 2013

..... "Dahulu Islam itu Damai"......


Dahulu, katanya Islam itu indah nan damai..
pasti Nabi Muhammad juga mengajarkannya..
Lohh.. kok ada teroris yang berpesta dengan bomnya..
membabi buta meluluhlantahkan makhluk Tuhan..
Jihad yang dikoar-koarkan sebagai latar belakang..
dan kemungkaran yang berkedok nahi munkar..

Islam itu katanya penuh kedamaian..
tapi, pertikaian antar muslim mewabah..
pembakaran tempat ibadah yang jadi fenomena..
dan mengkafir-kafirkan sesama islam jadi kegemaran..
Fatwa Ulama-ulama garang nan sangar bersuara lantang jadi pedoman..

Y Allah ya Rahman..
rahmatilah kami dengan cinta kasihMu..
dan kekuatan untuk berada di jalanMu dengan penuh kedamaian..

     
    _jakarta, Juli 2013_

Selasa, 18 Juni 2013

____Orang Egois itu "Wong Picek" ____

Picek identik dengan sebuah perkataan kotor (perkataan misuh berbahasa jawa). Apabila ditransmisikan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut memiliki padanan kata buta.  Akan tetapi, dalam pemakainnya justru lebih sering digunakan sebagai umpatan atau perkataan misuh yang bernilai negatif di kalayak jawa, sehingga membuat kata picek  tadi bernilai sangat negatif dan bernada miring jika diucapkan. Saking negatifnya nilai rasa dari kata tersebut, masyarakat jawa tidak ragu untuk mendiskreditkan orang yang mengucapkannya. Walaupun berpadanan kata buta,  picek memiliki kedudukan yang jauh lebih rendah dalam nilai kata dan dapat disimpulkan sebagai kata yang bernilai negatif yang akan menegatifkan apapun yang disifatainya (dalam masyarakat jawa).
Egois diterjamahkan oleh sebuah kamus sebagai orang yang selalu mementingkan diri sendiri. Menurut kami, egois berdiri dari kata dasar ego yang berakhiran is. Ego adalah sebuah fitrah manusia sebagai seorang individu. Akan tetapi, akhiran –is dapat menyebabkan kata yang ditumpanginya tersebut menjadi bernilai berlebihan. Jadi, ego yang sejatinya merupakan sifat lumrah yang ada dalam setiap individu setelah mendapat akhiran –is menjadikannya sikap yang berlebihan dalam mementingkan individunya tersebut.
Cukup jelas dalam pemaparan di atas tentang definisi maupun nilai kata dari kedua kata tersebut, lantas mengapa egois dianalogikan sebagai wong picek.? Egois dapat diibaratkan sebagai seseorang yang sebenarnya bias melihat orang lain maupun kepentingan sekitar, tetapi dengan kesengajaanya merem atau menutup mata. Sedangkan kita bisa melihatnya bersama bahwa misuh ( perkataan picek ) ditujukan pada orang yang memiliki penglihatan sehat (tidak buta). Oleh karena itu, dalam sebuah sudut pandang yang mungkin akan berbeda, rasanya akan wajar dan pantas apabila orang egois mendapatkan kedudukan yang sejajar dengan wong picek.
Terkisah sebuah cerita dari seorang wali Allah, Syeikh Sariy as-Saqathy (wafat th 253 H/967 M) pernah berkata,” Tiga puluh tahun aku beristighfar, memohon ampunan Allah atas ucapanku sekali 'Alhamdulillah' !". "Lho, bagaimana itu?" tanya seseorang yang mendengarnya. "Terjadi kebakaran di Baghdad," kata Syeikh menjelaskan," lalu, ada orang yang datang menemuiku dan mengabarkan bahwa tokoku selamat tidak ikut terbakar. Aku waktu itu spontan mengucap, "Alhamdulillah!" Maka, ucapan itulah yang kusesali selama tiga tahun ini. Aku menyesali sikapku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain."
Tiga puluh tahun Syeikh Sariy menyesali ucapan alhamdulillahnya. Beliau menyesal karena sadar--sekejap setelah melafalkan ucapan syukurnya itu--bahwa dengan ungkapan syukurnya itu berarti beliau masih sangat tebal perhatiannya kepada diri sendiri. Begitu tebal hingga menindih kepekaan perhatiannya kepada sesama. Sekejap beliau tersadar; alangkah degilnya orang yang mensyukuri keselamatan sebuah toko pada saat keselamatan sesama dan harta benda mereka terbakar habis. Alangkah musykil-nya orang yang sanggup menyatakan kegembiraan disaat musibah menimpa sabagian besar saudara-saudaranya. (Membuka Pintu Langit, 2011:175)
Refleksi dan instrospeksi patut menjadi sikap atas cerita hikmah tersebut. Begitu mudah untuk kita pahami penyesalan seorang sufi tersebut. Terkecuali apabila memang begitu kerasnya hati kita yang tak mampu lagi menerima bisikan-bisikan kebaikan. Tidak ada ajaran agama manapun yang mengajarkan kita untuk bersifat egois.

Apakah matamu memang kau pergunakan untuk melihat…!
Hatimu masih lembut dan belum sekeras batu kan...!
Apa telingamu sudah biasa berpura-pura tuli..
dan tanganmu malas untuk terulur...!
Apa memang kau terlalu hebat untuk meremehkan orang lain…
Apa kaupun meyakini tindakanmu paling benar…
Atau memang hanya engkau yang hidup di dunia ini..
Apakah kau yakin Tuhan selalu membenarkanmu…
Entah mungkin kau lah manusia terbaik yang ada..
dan yakin tak butuh orang lain..

mungkin justru aku yang tidak tahu kalo bahagia sendiri itu enak..
ooh.. bisa juga Aku dan temanku ini yang terlalu hina untuk kau lihat
Mungkin aku juga yang terlalu bodoh sehingga tak kau anggap..
Suaraku juga mungkin terlalu sumbang, sehingga kau enggan mendengarnya..

Tapi, aku yakin suatu saat kau pasti ingat…
Tuhan itu memuliakan manusia diantara makhluk yang lainnya..
Nabi Muhammad adalah manusia yang paling manusia..
Dan Manusia yang paling memanusiakan manusia..


Setelah sadar akan keburukan sifat egois, maka marilah kita segera berbenah dan memperbaiki diri. Mohon maaf apabila terlalu berlebihan dan terlalu kasar dalam berbahasa. Akan tetapi, tidak perlu khawatir dianggap Wong Picek  kalo memang anda tidak merasa egois…heee..



Juni 2013.... Jakarta


Jumat, 13 April 2012

____Tatapan Mata Kesetiaan____


Senja di langit kemerahan, ungkapkan keindahan makna cinta semesta..

Bermimpi indah sepasang merpati putih terbang rendah..
Memadu kasih dalam lunglainya dahan..
Tertiup syahdu angin surgawi, buyarkan lamunan sang jantan..
Tertata rapi dalam kekaguman dan angan..
Kata yang tak lagi mampu lukiskan..
Rasa yang t’ mampu lagi tersimpan dalam diamnya lisan..
Teruntai indah dalam sebuah pengakuan,
Merpati jantan mengagumi betinanya dalam kebisuan..
Jika senja izinkan, tentu sudah terungkap dalam manisnya kata..
Namun, sejuknya embun menunggu pertemuan keduanya...
Bukan lentik bulu dan indahnya kepak sayap Sang Betina yang ingin dicerna..
Hanya tatapan mata yang merangkum kesetian mendalam yang terbaca..
Saat itulah Sang Jantan mampu berkicau merdu,
 akan kekaguman yang selama ini terpendam dalam harap..
Dari kejauhan, bintang malam tersenyum meniyakan..!!

Jumat, 30 Maret 2012

_____ "Berdamai dengan Kematian" ______


Kemampuan untuk berbahasa yang merupakan warisan dari nenek moyang merubah kita menjadi makhluk rasional yang selalu mencoba untuk memprediksi masa depan. Akan tetapi, lambat laun akan mulai tersadar dan tertakuti oleh suatu hal yang disebut kematian. Kesadaran akan kematian ini mengundang sebuah pemikiran akan suatu rasa sakit yang hebat dan perpisahan. Hal inilah yang menyebabkan mulai terpupuknya rasa takut semenjak kita menyadarinya. Pemikiran ini ikut menyeret pemikiran lain yang terkadang menghantui kita, seperti apa gunanya bekerja keras, menunda kesenangan saat ini, dan mengumpulkan uang dan kekuasaan, jika suatu hari nanti, mungkin besok, kita meninggal? Kematian tampaknya menyia-nyiakan usaha kita dan membuat semuanya tidak memiliki arti.
Jika kita menyerah pada pemikiran seperti ini, kita hanya akan kehilangan kemauan untuk melakukan apapun dan bahkan terdorong untuk bunuh diri. Akan tetapi, secara sadar maupun tidak tidak akan lahir dua solusi dalam keadaan seperti itu. Pertama adalah munculnya sebuah konsep yang dilandasi asas religius dalam hati kita tentang adanya kehidupan setelah kematian yang membawa kita untuk berbuat sesuatu yang berarti dan mengurangi sedikit ketakutan akan kematian. Solusi kedua yang merupakan pilihan mayoritas adalah berusaha untuk melupakan kematian dengan menenggelamkannya dalam kesibukan dan rutinitas yang luar biasa padat di masa sekarang. Hal ini dapat dikatakan juga bahwa kita berusaha secara aktif untuk tidak sama sekali memikirkan kematian itu sendiri. Untuk membantu hal ini, kita mengalihkan dengan rutinitas dan masalah-masalah biasa. Terkadang tanpa dikehendaki ketakutan itu muncul dengan sendirinya lewat perantara orang terdekat kiya meninggal dan sakit yang kita alami. Akan tetapi, kita akan cepat meresponnya dengan menenggelamkannya lagi dengan memikirkirkan masalah kita sehari-hari untuk mengasingkan lagi kematiaan tersebut dari benak kita.
Penekanan seperti ini tidak benar-benar efektif. Saat pemikiran kita mulai berkembang pada usia emapat atau lima tahun, kita biasanya mulai sadar dengan kematian kita. Pada saat seperti itu, pemikiran ini akan berdampak besar bagi jiwa kita. Kita akan dengan mudah menghubungkan kematian dengan berbagai macam kegelapan, kekacauan yang tak bisa dihindari, kesakitan yang teramat sangat, dan perpisahan dengan orang yang kita cintai atau hal yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Tentunya hal ini akan sangat menggangu kita. Ketakutan mulai melekat erat dengan kita semenjak saat itu. Sulit sekali untuk menghapuskan atau menghindar dari serangan pikiran semacam ini. Pemikiran ini akan meresap dalam jiwa kita dan tentunya akan tercermin dalam perilaku kita dengan cara yang tidak bisa kita bayangkan.
Tetapi, ada cara lain dan berani untuk menghadapi kematian. Sejak kita muncul di dunia dari rahim ibunda, kita sudah membawa bekal berupa kematian. Kematian bukanlah makhluk luar angkasa yang akan mengakhiri hidup kita, melainkan adalah sesuatu yang terkandung dalam diri kita sendiri. Sadarlah sebenarnya kita hanya lari dari diri sendiri jika kita lari dari kenyataan ini dengan menghindari memikirkan tentang kematian. Betapa konyolnya kita untuk terus hidup dalam kebohongan jika kita terus mengingkari apa yang tidak bisa kita hindari dalam hidup kita. Terobosan berani menuntut kita untuk menerima kenyataan kalau hidup kita sangat panjang, dan dalam kehidupan ini tentunya kita akan singgah dalam kesakitan serta menjumpai perpisahan. Berdamai dengan semua kenyataan ini akan membuat kita berdamai dengan diri sendiri dan menerima semua kenyataan hidup yang akan kita terima.
Ketika kita bersiap untuk memperkuat hidup kita guna menghadapi kematian, tentulah saat itu pula semua akan berubah. Hal yang terpenting dan menjadi prioritas mulai saat itu adalah kita harus menjalani hidup sebaik-baiknya dan penuh semangat. Kita bisa memilih melakukan hal ini dengan mengejar kesenangan tiada akhir, tetapi sesungguhnya inilah hal yang membosankan yang hanya akan membuat kita mencari pengalihan baru untuk mendapatkannya. Pilihlah tujuan tertentu yang akan membuat kita berusaha mencapainya dalam hidup ini untuk menjadi sumber kesenangan kita, maka hari-hari kita kan dipenuhi tujuan dan arah, dan kapanpun kematian menghampiri pastilah tiada penyesalan. Kita tidak akan terus mengungkit kesia-siaan dari semuanya, karena hanya akan membuang-buang waktu singkat yang kita miliki.
Saat ini kita lebih bisa menilai tentang apa yang lebih penting kita lakukan dalam hidup ketimbang memikirkan berapa banyak lagi jatah oksigen yang masih bisa kita hirup. Kita akan memiliki pikiran mendesak dan komitmen bahwa apa yang akan kita lakukan semestinya akan kita lakukan dengan baik, dengan segenap kekuatan yang kita miliki, dan tentunya tidak dengan pikiran yang bercabang yang memikirkan banyak hal.
Pertanyaan besar yang akan kita dapati adalah tentang bagaimana kita akan mencapai hal ini. Kita harus memikirkannya dalam hati dan menumbuhkan kesadaran bahwa kematian adalah sesuatu yang ada dalam diri kita. Kematian adalah bagian dari diri kita yang tidak bisa ditekan atau bahkan dihilangkan. Bukan untuk kita pikirkan terus-menerus, tetapi alangkah bijaksananya kita harus menerima dan bersahabat dengan kenyataan tersebut.
Dalam menghadapi kematian, kita dapat memilih untuk melakukan satu atau dua hal. Kita bisa berusaha untuk membuang jauh kata tersebut dari pikiran kita dengan cara apapun, dengan bersandar pada paham bahwa kita memiliki waktu yang lama di dunia ini. Atau kita bisa menghadapi kenyataan ini, menerima dan bahkan berdamai dengannya, dengan mengubah kesadaran kita akan kematian menjadi sesuatu yang positif dan aktif. Dengan filosofi dan cara berpikir seperti ini maka kita akan mendapati keseimbangan dalam hidup, di mana kita akan mulai menentukan apa yang penting dan tidak dalam hidup kita serta apa yang harus kita lakukan terlebih dahulu. Karena sadar hidup kita sangat singkat, tentu saja kita akan mendapati perasaan mendesak dan misi. Kita akan mengerti dan menghargai hidup atas sifatnya yang sementara. Jika kita dapat menguasai dan mengatasi ketakutan akan kematian, maka tak akan ada lagi yang perlu ditakutkan lagi selain Yang Maha Kuasa.


Farid Miftahus Surur (Alumnus 2009)
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Referensi : 1. “The 50th Law”, dan                                                        
                      2. “My Life,My Wonderfull Dream”