Selasa, 18 Juni 2013

____Orang Egois itu "Wong Picek" ____

Picek identik dengan sebuah perkataan kotor (perkataan misuh berbahasa jawa). Apabila ditransmisikan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut memiliki padanan kata buta.  Akan tetapi, dalam pemakainnya justru lebih sering digunakan sebagai umpatan atau perkataan misuh yang bernilai negatif di kalayak jawa, sehingga membuat kata picek  tadi bernilai sangat negatif dan bernada miring jika diucapkan. Saking negatifnya nilai rasa dari kata tersebut, masyarakat jawa tidak ragu untuk mendiskreditkan orang yang mengucapkannya. Walaupun berpadanan kata buta,  picek memiliki kedudukan yang jauh lebih rendah dalam nilai kata dan dapat disimpulkan sebagai kata yang bernilai negatif yang akan menegatifkan apapun yang disifatainya (dalam masyarakat jawa).
Egois diterjamahkan oleh sebuah kamus sebagai orang yang selalu mementingkan diri sendiri. Menurut kami, egois berdiri dari kata dasar ego yang berakhiran is. Ego adalah sebuah fitrah manusia sebagai seorang individu. Akan tetapi, akhiran –is dapat menyebabkan kata yang ditumpanginya tersebut menjadi bernilai berlebihan. Jadi, ego yang sejatinya merupakan sifat lumrah yang ada dalam setiap individu setelah mendapat akhiran –is menjadikannya sikap yang berlebihan dalam mementingkan individunya tersebut.
Cukup jelas dalam pemaparan di atas tentang definisi maupun nilai kata dari kedua kata tersebut, lantas mengapa egois dianalogikan sebagai wong picek.? Egois dapat diibaratkan sebagai seseorang yang sebenarnya bias melihat orang lain maupun kepentingan sekitar, tetapi dengan kesengajaanya merem atau menutup mata. Sedangkan kita bisa melihatnya bersama bahwa misuh ( perkataan picek ) ditujukan pada orang yang memiliki penglihatan sehat (tidak buta). Oleh karena itu, dalam sebuah sudut pandang yang mungkin akan berbeda, rasanya akan wajar dan pantas apabila orang egois mendapatkan kedudukan yang sejajar dengan wong picek.
Terkisah sebuah cerita dari seorang wali Allah, Syeikh Sariy as-Saqathy (wafat th 253 H/967 M) pernah berkata,” Tiga puluh tahun aku beristighfar, memohon ampunan Allah atas ucapanku sekali 'Alhamdulillah' !". "Lho, bagaimana itu?" tanya seseorang yang mendengarnya. "Terjadi kebakaran di Baghdad," kata Syeikh menjelaskan," lalu, ada orang yang datang menemuiku dan mengabarkan bahwa tokoku selamat tidak ikut terbakar. Aku waktu itu spontan mengucap, "Alhamdulillah!" Maka, ucapan itulah yang kusesali selama tiga tahun ini. Aku menyesali sikapku yang hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain."
Tiga puluh tahun Syeikh Sariy menyesali ucapan alhamdulillahnya. Beliau menyesal karena sadar--sekejap setelah melafalkan ucapan syukurnya itu--bahwa dengan ungkapan syukurnya itu berarti beliau masih sangat tebal perhatiannya kepada diri sendiri. Begitu tebal hingga menindih kepekaan perhatiannya kepada sesama. Sekejap beliau tersadar; alangkah degilnya orang yang mensyukuri keselamatan sebuah toko pada saat keselamatan sesama dan harta benda mereka terbakar habis. Alangkah musykil-nya orang yang sanggup menyatakan kegembiraan disaat musibah menimpa sabagian besar saudara-saudaranya. (Membuka Pintu Langit, 2011:175)
Refleksi dan instrospeksi patut menjadi sikap atas cerita hikmah tersebut. Begitu mudah untuk kita pahami penyesalan seorang sufi tersebut. Terkecuali apabila memang begitu kerasnya hati kita yang tak mampu lagi menerima bisikan-bisikan kebaikan. Tidak ada ajaran agama manapun yang mengajarkan kita untuk bersifat egois.

Apakah matamu memang kau pergunakan untuk melihat…!
Hatimu masih lembut dan belum sekeras batu kan...!
Apa telingamu sudah biasa berpura-pura tuli..
dan tanganmu malas untuk terulur...!
Apa memang kau terlalu hebat untuk meremehkan orang lain…
Apa kaupun meyakini tindakanmu paling benar…
Atau memang hanya engkau yang hidup di dunia ini..
Apakah kau yakin Tuhan selalu membenarkanmu…
Entah mungkin kau lah manusia terbaik yang ada..
dan yakin tak butuh orang lain..

mungkin justru aku yang tidak tahu kalo bahagia sendiri itu enak..
ooh.. bisa juga Aku dan temanku ini yang terlalu hina untuk kau lihat
Mungkin aku juga yang terlalu bodoh sehingga tak kau anggap..
Suaraku juga mungkin terlalu sumbang, sehingga kau enggan mendengarnya..

Tapi, aku yakin suatu saat kau pasti ingat…
Tuhan itu memuliakan manusia diantara makhluk yang lainnya..
Nabi Muhammad adalah manusia yang paling manusia..
Dan Manusia yang paling memanusiakan manusia..


Setelah sadar akan keburukan sifat egois, maka marilah kita segera berbenah dan memperbaiki diri. Mohon maaf apabila terlalu berlebihan dan terlalu kasar dalam berbahasa. Akan tetapi, tidak perlu khawatir dianggap Wong Picek  kalo memang anda tidak merasa egois…heee..



Juni 2013.... Jakarta